Di tengah riuhnya pagi Jakarta Utara, tepatnya di kawasan Bahari, Tanjung Priok, dua sosok bersiap memulai hari: seorang lansia yang akrab disapa Opung Ucok, dan seorang pemuda enerjik bernama Ahmad. Tujuan mereka mulia—berangkat ke kantor di Jakarta Pusat. Tapi, siapa sangka misi rutin ini berubah menjadi komedi pagi hari yang layak tayang di layar lebar.
Pagi itu, langit mendung, tapi perut Opung Ucok justru bergemuruh seperti awan hendak menurunkan hujan. Dengan ekspresi dramatis dan tangan yang merangkul perutnya, Opung mendeklarasikan, “Ahmad, kayaknya kita harus isi bensin… eh maksudnya, isi perut dulu,” kata Opung.
Tanpa pikir panjang, mereka berhenti di penjual tahu goreng. Sambil menggigit tahu panas-panas, Opung menawari Ahmad dengan gaya khasnya, “Coba, Mad. Ini tahu bukan sembarang tahu. Ini… tahu rasa perjuangan,” ucap Opung Ucok sambil menjulurkan tangannya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayangnya, tahu goreng gagal meredam orkestra dari lambung Opung. Ahmad, sebagai generasi muda yang penuh inisiatif, memutuskan mencari nasi padang dengan anggaran darurat: paket ceban. Satu porsi, dua orang, nol air minum. Uang Ahmad tinggal Rp 20 ribu, tapi semangat mereka seperti punya saldo tak terbatas.
Setelah bersantap dengan peluh yang bersaing ketat dengan sambal ijo, mereka kembali ke misi utama: menuju kantor. Tapi perjalanan suci ini kembali diguncang cobaan: motor Opung batuk-batuk di tengah jalan.
“Bensin habis, Ahmad!” teriak Opung, seperti sedang bermain dalam sinetron laga.
Mereka pun mendorong motor ke SPBU terdekat. Saat tiba giliran, Opung mendadak menunjuk Ahmad, “Kau aja yang bayar, Mad,” pinta Opung.
Tanpa curiga, Ahmad merogoh kantong dan menemukan… kehampaan. “Opung, serius cuma ada lima ribu?,” tanya Ahmad sambil mengelap keringat yang ada di dahinya.
Opung mengangguk malu. Ahmad, yang sudah lelah secara emosional, tertawa terpingkal-pingkal sambil meninggalkan motornya. Para pengendara lain menoleh. Satu dua tersenyum. Tiga empat ikut tertawa.
Dengan wajah memerah, Opung menuntun motornya keluar SPBU. Ahmad, yang akhirnya sadar, kembali dan membantu si Opung dengan motor yang suaranya kini mirip suara pengumuman di stasiun yang kesamber petir: pelan, ngadet, dan tidak jelas.
Meski haus, lapar, dan hanya bermodal semangat nasionalisme, mereka akhirnya tetap sampai kantor—dengan gaya dan cerita yang akan terus diceritakan dari satu meja kerja ke meja lainnya.