Jakarta – Di tengah semangat reformasi informasi dan kebebasan pers, wajah jurnalisme Indonesia justru dinodai oleh segelintir oknum wartawan yang menjadikan profesi mulia ini sebagai tameng untuk tindakan tercela.
Bermodalkan Kartu Tanda Anggota (KTA) wartawan dari organisasi tak jelas, mereka menyusup ke kantor-kantor pejabat dan perusahaan swasta, bukan untuk menggali kebenaran atau menyuarakan kepentingan publik, melainkan untuk menekan, menakut-nakuti, bahkan memeras. Parahnya lagi, banyak dari mereka tidak memahami bahkan tidak peduli pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Wartawan.
Dari Plagiat hingga Pemerasan
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahmad Rahmansyah, jurnalis muda dari IndonesiaGlobal, pernah menjadi korban. Karyanya yang berjudul “Beda Suara Soal Gudang Oli Bekas di Marunda: Satpol PP Cilincing Ngaku Tak Tahu Izin, Anggotanya Bilang Resmi” dicatut mentah-mentah oleh individu yang mengaku wartawan dari media lokal. Tanpa izin, tanpa kutipan, berita itu dipublikasikan ulang dengan nama penulis yang berbeda.
“Mereka tidak hanya mencuri karya dan mencemarkan profesi ini, tetapi menambahkan narasi liar tuduhan tidak berdasar yang melanggar kode etik,” ujar Ahmad.
Lebih ekstrem, beberapa oknum bahkan mendatangi kantor pejabat atau pengusaha, memperkenalkan diri sebagai wartawan dan menyodorkan ancaman: “Kalau tak ada uang kerjasama media, kami akan naikkan berita buruk Anda.” Sebuah bentuk pemerasan yang dibalut dengan baju wartawan.
Pelanggaran Berat terhadap Kode Etik Jurnalistik
Dalam Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers, pasal 6 menyebutkan:
“Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
Sedangkan pasal 11 menegaskan:
“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.”
Praktik yang dilakukan oknum-oknum ini jelas mencederai nilai-nilai tersebut. Mereka bukan lagi menjalankan misi sosial jurnalistik, melainkan sekadar menggunakan label media untuk keuntungan pribadi.
Mengapa Mereka Masih Berkeliaran?
Karena lemahnya sistem verifikasi organisasi wartawan dan media massa. Siapa pun bisa mencetak ID card bertuliskan “Pers”, membangun situs berita murahan, dan mulai menjalankan “operasi” dengan dalih investigasi.
“Di lapangan, kami sering dihadapkan pada wartawan abal-abal yang datang hanya untuk ‘minta uang bensin’. Kalau tak diberi, berita buruk bisa tiba-tiba muncul,” ungkap seorang pejabat di pemerintahan kota yang enggan disebutkan namanya.
Langkah Penanganan: Jerat Hukum Bagi Oknum Wartawan
Penanganan terhadap oknum wartawan seperti ini harus serius. Ada beberapa langkah hukum yang dapat diambil:
1. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999
Pasal 7 ayat (2):
“Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Bila terbukti melanggar, Dewan Pers bisa menjatuhkan sanksi etik dan mencabut legalitas medianya jika tidak terverifikasi.
2. UU ITE No. 19 Tahun 2016
Jika mereka menyebarkan berita bohong atau fitnah lewat media digital, dapat dijerat pasal 27 atau 28 tentang pencemaran nama baik dan berita palsu, dengan ancaman hukuman penjara hingga 6 tahun.
3. KUHP Pasal 368 (Pemerasan)
Jika terbukti mengancam demi mendapatkan uang atau barang, pelaku bisa dikenai pasal pemerasan dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara.
4. UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014
Untuk kasus plagiat karya jurnalistik, pelaku bisa dikenakan hukuman pidana paling lama 4 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Solusi Jangka Panjang
Verifikasi Media oleh Dewan Pers
Pemerintah dan masyarakat harus aktif mendukung verifikasi media dan wartawan. Jangan layani media abal-abal yang tidak terdaftar di Dewan Pers.
Peningkatan Literasi Jurnalistik
Edukasi kepada publik dan aparatur tentang bagaimana membedakan wartawan profesional dan oknum, agar tidak takut menghadapi ancaman semu.
Penguatan Organisasi Profesi
Organisasi wartawan harus lebih ketat dan bertanggung jawab dalam menerbitkan KTA, tidak asal terima tanpa verifikasi kompetensi.